Pakar Hukum UMY: Kepentingan Agama Perlu Mendapat Perlindungan KUHP

November 16, 2016, oleh: nimda-s3

img_6858
Hukum di Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum memiliki bab khusus mengenai tindak pidana terhadap agama atau dikenal dengan istilah delik agama. Meskipun Indonesia bukan sebagai Negara yang berdasarkan sesuatu agama, namun agama bukan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan atau diabaikan dalam hubungan dengan masalah kenegaraan. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Trisno Raharjo, M.Hum., saat menjadi salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD), Trisno mengatakan perlu adanya ketentuan tindak pidana secara menyeluruh terhadap kepentingan agama (delik agama) dalam KUHP.
“Dalam hukum di Indonesia terkait pengaturan dalam KUHP, pengertian delik agama yang pertama (delik agama menurut agama, red) telah banyak diatur dalam KUHP, seperti pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dan lain-lain. Sementara untuk delik agama kedua yang diatur dalam Pasal 156 a yaitu terkait penodaan terhadap agama belum disahkan kembali pada masa Susilo Bambang Yudoyono pada akhir tahun 2011 (sebelumnya telah disahkan pada tahun 1965, red). Jika delik agama terkait penodaan terhadap agama tidak dimasukkan dalam KUHP, akan mengganggu toleransi antar umat beragama,” ungkap Trisno, Selasa siang (15/11) di Ruang Sidang Direktur Gedung Pascasarjana Lantai 1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam FGD yang diselenggarakan oleh Program Doktor S3 Psikologi Pendidikan Islam yang bertemakan Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia, Trisno menyampaikan bahwa pada Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963 yang lalu telah menyatakan atas perlunya delik-delik agama, karena delik agama saling berkaitan dengan delik susila. “Dalam kajian bidang hukum pidana, delik agama berkaitan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta pada pasal 29 UUD 1945. Jika delik agama disahkan kembali, akan memberikan perlindungan bagi agama dalam hukum pidana,” ujarnya.
Dalam penjelasan pada diskusi tersebut, Trisno juga memberi contoh perbandingan penegakan hukum pidana di berbagai Negara yang dilakukan secara lisan maupun perbuatan. “Dalam Bab XI atas Ketentuan Pidana Jerman, pada tahun 2006 lalu seorang aktivis politik Jeran Manfred van H, dipidana percobaan satu tahun penjara, dan hukuman kerja sosial 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak ayat-ayat Al Qur’an lalu dibagikan ke masjid-masjid. Selain itu di Pakistan, seorang guru bernama Muhammad Younas Seikh di depan kelas menjelaskan bahwa sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu Al Qur’an , beliau belum masuk Islam. Penodaan agama secara lisan tersebut membuat Younas dipidana mati,” jelasnya.
Meskipun nantinya apabila delik agama disahkan kembali dikhawatirkan akan banyak laporan-laporan terkait penodaan agama. Dalam penodaan agama juga harus ditekankan bahwa jika pelaku sengaja mengucapkan penistaan disertai dengan pembuktian. Pada konfensi-konfensi Internasional sebenarnya juga seringkali dibahas mengenai perumusan pasal-pasal terkait pembelaan terhadap agama, penistaan terhadap nama Allah, Rasulullah, namun telah banyak direduksi (dikurangi). Sepertinya hukum di Indonesia telah mengikutinya (konferensi internasional yang banyak mereduksi pasal-pasal tersebut, red), seperti pasal yang tadinya ada sekarang menjadi hilang. Mungkin pasal-pasal terkait penodaan agama yang saat ini banyak direduksi tersebut merujuk pada kasus di Pakistan yang banyak menghukum mati para terdakwanya akibat dari kasus penodaan agama,” tutupnya. (hv)
Materi download disini