Yunahar Ilyas: Mengeliminasi Pendidikan Agama dari Sekolah Umum Adalah Upaya Ahistoris

July 7, 2019, oleh: nimda-s3


Dikutip dari Republika, praktisi Setyono Djuandi Darmono menyarankan Presiden Joko Widodo meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dinilai harus menjadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing, bukan guru di sekolah. Dirinya berpandangan pendidikan agama cukup diberikan di luar sekolah, seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.
Menanggapi hal tersebut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga dosen Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam UMY, Prof Yunahar Ilyas, menyatakan usulan penghapusan mata pelajaran agama di sekolah harus diabaikan. Sebab, usulan itu tidak memiliki landasan yang jelas. “Presiden harus abaikan usulan ahistoris tersebut,” ujar Yunahar saat dihubungi melalui pesan singkat, Sabtu (6/7).
Menurutnya, usulan penghapusan pelajaran agama telah bertentangan dengan Sila Pertama dan pasal 31 UUD 45 serta tujuan pendidian Nasional. Di dalam pasal 31 UUD 1945 disebutkan, “Bahwa setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan Dasar dan pemerintah wajib membiayainya.  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.”
Khususnya agama Islam, lanjut dia, pendidikan memiliki peran penting. Dengan pendidikan agama itulah, para pejuang Tanah Air dahulu memiliki ruh dan semangat juang untuk membela bangsa. Bahkan, agama mengajarkan perdamaian dan persatuan dalam sebuah bangsa.
“Indonesia bukan negara sekuler, melainkan negara beragama. Pendidikan agama sangat penting. Jika tidak ada pendidikan agama, di mana agama diajarkan? Bagaimana peran negara dalam menjalankan UUD dalam mencapai tujuan pendidikan,” kata Yunahar Ilyas.
Di Indonesia, umumnya anak-anak muda juga mendapatkan ilmu agama di luar sekolah. Seperti halnya dari rumah, masjid, dan lainnya. Akan tetapi, Yunahar menilai itupun belum cukup. Karena itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengusulkan diperbanyak lagi pendidikan agama di sekolah. Pasalnya, tidak sedikit anak-anak muda atau pelajar yang tidak memiliki pegangan dalam hidup lantaran kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.
Guru Sebagai Elemen Kunci
Selain itu, ia menekankan perlunya peningkatan kualitas guru. Dalam pendidikan agama, guru haruslah memberikan tauladan yang baik kepada siswa. Ia juga menekankan agar metode pembelajaran dalam pendidikan agama diperbaiki. Selama ini, ia menilai pelajaran agama yang diberikan lebih bersifat kognitif, seperti dalam bentuk hafalan. Padahal, menurutnya, pendidikan agama seyogianya menekankan pada nilai-nilai agama yang menjadi karakter. “Sehingga harus diperbanyak pendidikan agama yang membentuk kepribadian. Tidak perlu monoton. Misalnya, siswa bisa diajak bertemu dengan tokoh-tokoh ulama dan lainnya,” jelasnya.
Di sekolah-sekolah negeri, umumnya pendidikan agama yang didapatkan minim. Karena itu, sebagai alternatif lainnya, orang tua menurutnya bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang lebih banyak memuat pendidikan agama. Seperti halnya sekolah Islam, boarding school, atau pun seperti sekolah Muhammadiyah.
Di sekolah Muhammadiyah, Yunahar mengatakan siswa diberi pendidikan agama atau yang disebut Ismuba. Ismuba memuat pendidikan Islam dari mulai hal-hal dasar seperti Rukun Islam dan Rukun Iman, akidah, akhlak, pentingnya dakwah, nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar (perintah mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan), dan bahasa Arab. Menurutnya, pelajaran bahasa Arab penting diberikan sebagai pintu untuk bisa membaca Alquran.
Organisasi Islam yang telah berusia satu abad ini memang memiliki andil dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Saat ini, Muhammadiyah telah memiliki puluhan ribu sekolah dari mulai tingkat TK,SD hingga SMA, dan 166 perguruan tinggi.
Dikutip dari Republika.co.id