Hilman Latief: Akuntabilitas Lembaga Filantropi Islam

December 21, 2019, oleh: nimda-s3


Maraknya lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia belakangan ini memicu persaingan ketat. Layaknya persaingan bisnis, tetapi yang dijual adalah isu “kemiskinan.” Dalam hal ini, visibilitas dan akuntabilitas lembaga filantropi menjadi taruhan. Berikut adalah petikan wawancara redaksi bersama Hilman Latif, Ph.D. (Ketua LazisMu Pimpinan Pusat Muhammadiyah).
Menurut Anda, fenomena apakah yang tengah terjadi dengan maraknya gerakan filantropi Islam di Indonesia akhir-akhir ini?
Meningkatnya tradisi filantropi Islam di Indonesia disebabkan beberapa faktor. Pertama, perekonomian yang membaik dalam satu dasawarsa terakhir. Pada tahun 2013, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia dengan angka 5.78 persen. Artinya, resource yang dimiliki masyarakat Indonesia juga semakin membaik. Kedua, jumlah kelas menengah yang meningkat. Dalam kurun 10 tahun terakhir, jumlah masyarakat kelas menengah sekitar 56.7 persen. Padahal, 10 tahun yang lalu (2004), jumahnya hanya 37 persen. Ketiga, menguatnya rasa keagamaan di kalangan kelas menengah. Saat ini, kelas menengah Muslim memperoleh banyak forum keagamaan, seperti pengajian, kultum, dan praktik ibadah kolektif lainnya di tempat kerja. Intensitas forum keagamaan itu menjadi modal sosial yang baik bagi mereka dalam mengkonsolidasikan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk filantropi.
Apakah kemunculan lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia menunjukan lemahnya fungsi negara dan ormas (Islam) dalam hal penggalian dana zakat?
Bertambahnya lembaga-lembaga filantropi memang sering dikaitkan dengan lemahnya peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain, seperti Mesir, Yordania, Aljazair, Palestina, dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, dengan jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa, memang negara memiliki beban berat untuk menerapkan kebijakan populis yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah. Belum lagi, skema-skema dan akses untuk pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan yang murah. Ini semua belum terjangkau oleh masyarakat yang kurang mampu. Oleh karena itu, tidak sedikit masyarakat miskin yang berpaling ke lembaga sipil, dalam hal ini lembaga filantropi.

Baca Juga  Hijrah, Kelas Menengah, & Selebriti: Kesalehan atau Komoditas?

Birokrasi adalah salah satu persoalan yang sering menghambat kaum miskin. Selain itu, masalah pengetahuan mereka akan skema-skema yang ada adalah sisi lain yang menjadikan keluarga miskin tidak dapat mengakses skema negara. Belum lagi persoalan psikologis. Praktiknya, hambatan psikologis seringkali dihadapi keluarga miskin ketika memasuki lembaga milik negara. Ada perasaan bahwa mereka meminta kepada negara. Padahal, sesungguhnya tidak seperti itu. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak keluarga miskin, termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks itulah, lembaga-lembaga filantropi ada. Ia menjadi skema alternatif dari skema yang dimiliki negara.
Menurut Anda, seberapa kuat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga filantropi tersebut?
Dilihat dari perkembangannya yang pesat, kepercayaan (trust) masyarakat terhadap lembaga filantropi semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi warga yang terus meningkat dalam menyalurkan dana sosial mereka melalui lembaga filantropi. Menguatnya kepercayaan ini berbanding lurus dengan visibilitas lembaga filantropi di ruang publik serta akuntabilitas mereka, termasuk akuntabilitas program dan akuntabilitas finansial. Saya kira, akuntabilitas ini adalah aspek paling penting yang harus dimiliki lembaga filantropi Islam, termasuk pengelola zakat. Alasannya, masyarakat memiliki banyak pilihan ke mana dana zakat dan sedekah mereka akan disalurkan. Semakin kurang tingkat akuntabilitasnya, maka akan semakin lemah pula tingkat kepercayaan masyarakat. Jadi, ada semacam sebab dan akibat dalam proses ini.
Apakah maraknya lembaga filantropi Islam ini memiliki makna positif?
Betul sekali. Ini adalah hal yang sangat positif, terutama untuk negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia. Ada kesadaran baru tentang konsep mutual help (saling tolong), atau dalam bahasa al-Quran disebut ta’awun. Artinya, solidaritas sosial kaum Muslim dipupuk secara sitematis oleh lembaga-lembaga filantropi yang ada. Selain itu, kaum Muslim juga dapat memproyeksikan agenda-agenda mereka dalam pengembangan masyarakat. Dana yang sudah terkumpul dapat dikelola dengan rapi dan efektif, khususnya untuk program-program pengentasan kemiskinan.

Baca Juga  Orientasi Politik Umat Islam: Wawancara Imajiner Bersama Kuntowijoyo

Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah bagaimana lembaga-lembaga yang ada ini tidak tumpang-tindih, dan bagaimana mereka dapat membuat program-program pengentasan kemiskinan yang spesifik dan fokus. Saat ini, banyak yang programnya terlalu umum, sehingga tidak menunjukkan kekhasan antara satu sama lain, dan akhirnya sering tumpang-tindih.
Apakah sisi negatif dari maraknya lembaga filantropi Islam?
Ada beberapa sisi negatif yang saya lihat. Pertama, regulasi. Saat ini, regulasi untuk pengelolaan dana publik belum jelas. Siapa saja yang berhak menarik dana-dana dari masyarakat, meskipun itu adalah sumbangan. Bila tidak hati-hati dan tidak ada regulasi yang kuat, boleh jadi ada oknum yang melakukan abuse (penyalahgunaan) terhadap dana-dana masyarakat.
Kedua adalah patronase. Latar belakang pengelola lembaga filantropi Islam sangat beragam. Ada yang berbasis ormas, berbasis partai politik, berbasis perusahaan, dan sebagainya. Patronase seringkali menjadi hambatan bagi lembaga filantropi dalam mendorong terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat yang multikultur seperti Indoensia.
Ketiga, keterlenaan dengan aktivitas karitatif, sekedar formalitas. Filantropi adalah sebuah mekanisme sementara saja dalam memberikan solusi alternatif bagi kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana lembaga filantropi juga mampu membangun kesadaran di kalangan warga bahwa mereka harus berubah, dan mendorong pemerintah agar lebih serius menyiapkan program-program untuk kesejahteraan rakyat. Bila tidak dilakukan penyadaran seperti itu, maka akan ada sikap ketergantungan masyarakat di satu sisi, dan keterlenaan pemerintah di sisi lain. Lembaga filantropi ada di antara keduanya.
Bagaimana komentar Anda tentang kehadiran lembaga-lembaga filantropi Islam yang dianggap sebagai “jualan” isu kemiskinan?
Mungkin saja seperti itu. Itu hal biasa. Toh, tidak semua orang kaya punya hati yang sama untuk dapat disentuh. Artinya, memang lembaga filantropi itu bertugas membangun kesadaran orang-orang kelas menegah ke atas untuk lebih aktif dan berpartisipasi dalam membangun komunitas dengan menyumbangkan sebagian harta mereka. Dalam pengamatan saya, kampanye yang dilakukan oleh lembaga filantropi Islam juga sekarang sudah canggih. Tidak selalu menampilkan realitas negatif dari masyarakat, seperti kemiskinan. Tetapi lebih kepada aspek motivasi untuk mendorong partisipasi kelas menengah ke atas. Anggapan “menjual” isu kemiskinan itu dapat dibenarkan bila memang lembaga filantropi itu hanya terus menerus melakukan kegiatan karitatif tanpa mencoba merumuskan agenda yang lebih strategis. Bila mereka dapat melangkah lebih jauh dan merumuskan agenda strategis untuk pemberdayaan masyarakat, maka saya kira anggapan tersebut dengan sendirinya sudah tidak tepat lagi. [BA & Rif] Source:

https://ibtimes.id/hilman-latief-akuntabilitas-lembaga-filantropi-islam/