Farid Setiawan Raih Gelar Doktor Setelah Meneliti Karakter Kepemimpinan Menurut Ki Bagus Hadikusuma dan Sukarno

September 27, 2021, oleh: superadmin

Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam (PPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali menyelenggarakan Sidang Promosi Doktor atas nama Farid Setiawan pada Senin (27/09). Kegiatan kali ini dilaksanakan secara blended (campuran), yaitu menggabungkan daring dan luring. Pelaksanaan luring dihelat di Ruang Amphitheater Lantai 4 Gedung Pascasarjana UMY, sementara pelaksanaan daring menggunakan media Zoom Meeting.

Disertasi Farid Setiawan berjudul “Karakter Kepemimpinan Menurut Ki Bagus Hadikusuma dan Sukarno: Tinjauan Psikologis”. Dalam disertasinya Farid meneliti soal bagaimana karakter kepemimpinan dan juga gaya kepemimpinan keduanya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan atau library research, dengan sumber-sumber primer seperti tulisan karya Ki Bagus dan Sukarno, juga sumber sekunder seperti sumber otoritatif yang membahas perjalanan kedua tokoh tersebut.

Penggalian dua tokoh dalam penelitian ini didasari oleh pemikiran penulis untuk melacak kembali pemikiran tokoh-tokoh dalam peletakan pondasi bangsa, untuk bisa mengetahui cara pandang, karakter kepemimpinan, dan juga gaya kepemimpinannya. Menurut Farid kedua tokoh tersebut menarik untuk diteliti karena Ki Bagus Hadikusuma dan Sukarno adalah pemimpin yang sukses pada zamannya, sehingga keduanya juga berhasil masuk dalam 100 tokoh yang mengubah Indonesia. Selanjutnya, legacy atau warisan yang ditinggalkan sangat bermakna yaitu Pancasila, soal bagaimana peran kedua tokoh tersebut dalam perumusan Pancasila. Terakhir, adalah pada perhatian serius keduanya terhadap pentingnya karakter dan gaya seorang pemimpin. Dari berbagai alasan tersebut maka penelitian kedua tokoh tersebut dirasa sangat penting, demikian karena pemikiran keduanya yang futuristik masih relevan sampai sekarang.

Adapun hasil temuan yang didapat promovendus yang pertama adalah pada pemikiran karakter pemimpin. Dimana terdapat perbedaan kontras antara Ki Bagus Hadikusuma dan Soekarno. Perbedaan-perbedaan tersebut dipengaruhi banyak faktor seperti latar belakang keluarga, latar pendidikan (termasuk dengan literatur bacaan), hingga lingkungan sosial tempat tinggal. Ki Bagus menonjol dalam paradigma kepemimpinan profetik, suatu paradigma yang mengedepankan prinsip moral-religius. Ini dapat dibuktikan dari delapan karakter seorang pemimpin yang beliau rumuskan seperti istiqamah, tawakkal, muhasabah dan muraqabah, adil dan jujur, tawadhu dan tidak takabur, menepati janji, sabar dan halim serta hidup sederhana. Sedang Sukarno memiliki paradigma psikologi kepemimpinan politik, mengandung makna bahwa Sukarno menonjolkan prinsip rasional-politis. Menurutnya seorang pemimpin harus mempunyai sepuluh karakter yaitu visioner, penuh semangat, kreatif, fleksibel, inspiratif, inovatif, berani, imajinatif, tidak suka bereksperimen, dan independen.

Penemuan berikutnya adalah soal gaya kepemimpinan. Ki Bagus dikenal sebagai sosok kharismatik-demokratik karena dirinya yang selalu dijadikan panutan dan tempat konsultasi banyak orang, tak terkecuali Sukarno. Lebih dari itu beliau juga sering memegang kunci keputusan terakhir di banyak momen penting. Sedang Sukarno dikenal sebagai kharismatik-otoriter. Segi kharismatik menonjol jelas karena kapasitas intelektual, kemampuan meramu kata-kata yang sangat luar biasa, juga bahasa provokatif-agitatif dan body language sehingga dijuluki sebagai Singa Podium. Untuk segi otoriter dapat dilihat dari karakter kepemimpinan terpusat yang sangat terpancar terkhusus saat masa demokrasi terpimpin.

Melihat dari dua perbedaan yang dikemukakan penulis memang menegaskan bahwa keduanya sangat kontras, namun ada persamaan yang sangat besar dan penting yaitu kesamaan kedua tokoh dalam masalah persatuan bangsa. Keterlibatan dua tokoh tersebut sangat sentral dalam perumusan Pancasila. Ki Bagus sebagai wakil dari golongan nasionalis-religius dan Sukarno datang dari nasionalis-sekuler dapat bersatu menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan terdapat julukan bagi keduanya dalam proses perumusan ini, Sukarno sebagai penggali Pancasila dan Ki Bagus sebagai pemegang kunci terakhir penetapan pancasila.

“Melalui disertasi ini saya berusaha mempromosikan bahwa keberadaan figur dan pemimpin kharismatik diperlukan sebagai penyejuk dalam masyarakat, dapat menjadi suatu tenda besar, teladan, juga tempat konsultasi. Hal lain adalah soal aspek demokratis pada pemimpin, manusia diberi 2 telinga dan satu mulut agar lebih banyak mendengar bukan hanya bicara”, jelas Farid.

Sidang Promosi Doktor pada hari ini berlangsung dengan baik, tertib, dan lancar. Akhirnya promovendus Farid Setiawan berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan. Adapun susunan Dewan Penguji yang bertugas yakni Ir. Sri Atmaja P. Rosyidi, Ph,D. sebagai Ketua Sidang, M. Syifa Amin Widigdo, Ph.D. sebagai Sekretaris Sidang, Prof. Dr. Siswanto Masruri, M.A. sebagai Promotor, Dr. Tasman Hamami, M.A. sebagai Co-Promotor, Prof. Sjafri Sairin, M.A., Ph.D., Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM, Dr. Abd. Madjid, M.Ag, dan Prof. Hilman Latief, M.A., Ph.D. sebagai Tim Penguji Utama. Bersamaan dengan selesainya sidang promosi ini Promovendus farid Setiawan telah resmi menjadi doktor bidang Psikologi Pendidikan Islam, sekaligus menjadi doktor ke-107 yang telah dihasilkan oleh PPI UMY. (swtzl)