Kasus Penistaan Agama, Momentum Transparansi Penegakan Hukum di Indonesia

November 16, 2016, oleh: nimda-s3

img_6927Semua umat beragama harus menghindarkan diri dari upaya penistaan agama secara lisan. Namun yang jauh lebih penting adalah umat beragama harus menyadari bahwa semua perilaku atau tindakan individu dan sosial yang bertentangan dengan nilai ajaran agama, semua itu merupakan tindakan penistaan terhadap ajaran agama itu sendiri. Hal ini disampaikan oleh Dr. Muhammad Azhar, M.Ag., saat menjadi salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD), Azhar mengatakan Umat beragama yang melakukan tindakan; korupsi, perusakan lingkungan, kekerasan dan terorisme, pengabaian anak dan sejenisnya merupakan bentuk penistaan ajaran agama yang paling nyata.
“Semua umat beragama perlu memahami bahwa soal isu agama itu tidak hanya menyangkut aspek rasional dan empiris keagamaan semata, tetapi juga terkait dengan dimensi kebatinan (feeling of the people) atau spiritualitas masing-masing umat beragama yang sangat subyektif, yang hanya dapat dipahami atau dihayati oleh individu masing-masing penganut agama,” ungkap Azhar, Selasa siang (15/11) di Ruang Sidang Direktur Gedung Pascasarjana Lantai 1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam FGD yang diselenggarakan oleh Program Doktor S3 Psikologi Pendidikan Islam dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UMY yang bertemakan Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia, Azhar menyampaikan bahwa, “Media massa maupun media sosial lainnya harus tetap mengedepankan analisis dan kajian kegamaan secara rasional, akademis, proporsional. Fokus pada ide dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari sikap menghakimi (Judgement) atau stigmasi pribadi, kelompok maupun lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya” ujarnya.
Dalam penjelasan pada diskusi tersebut, Azhar juga memberi contoh kasus yang menimpa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang sedang ramai diperbicangkan masyarakat saat ini merupakan pelajaran bagi semua umat beragama agar dimasa depan lebih berhati-hati lagi bila berbicara soal agama. Dalam soal agama, biarkan ilmuan agama masing-masing yang paling berhak (kompeten) dalam menafsirkan ajaran agamanya. Orang atau penganut agama yang diluar agamanya sendiri (Outsider), wajib menjaga diri untuk memberikan komentar kecuali terkait dengan kajian akademis perbandingan agama.
“Semua kelompok social maupun politik harus menghindarkan diri dari upaya sengaja untuk menjadikan isu agama sebagai alat legitimasi tindakan politik yang sifatnya pragmatis, namun jauh dari nilai-nilai hakiki dari ajaran agama itu sendiri. Bila ditemukan adanya upaya politisasi agama maka harus dibawa ke ranah hukum. Dan jika telah dibawa ke jalur hukum, apapun hasilnya harus diterima secara sportif dan lapang dada dari dua belah pihak yang berseteru. Bila ada pihak yang kurang puas dengan hasil yang ada, maka penyelesaian juga harus dilakukan melalui upaya hukum lanjut sesuai mekanisme dan ketetapan yang berlaku. Salam Demokrasi Religius,” tutupnya. (Evan-PPI)