PPI dan PI UMY Sukses Hadirkan Dua Pemikir Islam Indonesia dalam Studium Generale

January 19, 2022, oleh: superadmin

Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam (PPI) dan Program Doktor Politik Islam- Ilmu Politik (PI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sukses berkolaborasi dalam menyelenggarakan studium generale bertajuk “Menimbang Tradisi sebagai Basis Tajdid Pemikiran Islam di Era Baru” (19/01). Sebuah agenda yang mengangkat bahasan-bahasan tentang pemikiran-pemikiran baru dari generasi dan sarjana muslim Indonesia. Karenanya pembicara-pembicara yang dihadirkan adalah yang kompeten dibidangnya. Hadir Prof. Dr. Amin Abdullah yang merupakan Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sukidi, Ph.D. seorang Pemikir Kebhinekaan. Pelaksanaan kegiatan secara daring menggunakan media Zoom Meeting.

Agenda ini diawali langsung dengan sambutan dari Wakil Direktur Bidang Akademik Pascasarjana UMY yaitu Dr. Zuly Qodir, M.Ag. Menurutnya acara ini sangat berbobot karena dapat mendatangkan ilmuwan-ilmuwan terhormat di Indonesia.

“Seminar ini berbobot karena menyangkut juga keadaan umat Islam di Indonesia. Dimana 10 tahun terakhir kehidupan umat Islam tertutupi oleh politik praktis dan mengalami stagnasi pemikiran yang disebabkan karena ketakutan melakukan kritik terhadap pemikir-pemikir sebelumnya” jelas Zuly.

Syifa Widigdo sebagai Ketua Prodi Psikologi Pendidikan Islam menambahkan juga soal betapa menariknya pertemuan ini. Dimana dua mazhab dapat bertemu yaitu mazhab Sapen yang diwakili oleh Prof. Amin dan mazhab Ciputat yang diwakili oleh Sukidi. Tak lupa Syifa juga menambahkan semoga ilmu-ilmu yang ada dalam kesempatan ini dapat bermanfaat.

Agenda studium generale ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama diawali oleh Prof. Amin Abdullah. Beliau menyampaikan soal pentingnya pembaharuan dalam tradisi. Bahwa sebagai muslim kita tidak boleh abai apalagi absen untuk terus berpikir. Terkhusus pada mahasiswa yang juga harus berani dalam mengkritik tradisi yang ada, demi menumbuhkan habits of mind atau kebiasaan dalam berpikir. Apalagi jika berbicara disrupsi media, dimana informasi secara masif tersebar tanpa tahu kebenarannya yang berakibat memunculkan pemikiran-pemikiran yang pendek.

Sesuai dengan topik yaitu pencarian makna dalam teks-teks suci, maka tradisi berpikir harus terus ditumbuhkan. Karena makna yang hadir dalam teks-teks tersebut juga bersumber dari kita-kita yang memberi makna, makna yang lahir dari produk pemikiran manusia. Bicara Ilmu Agama juga cukup relatif karena terdapat keterkaitan dengan anggapan, keyakinan, bahkan kepentingan kelompok.

“Sebagai penutup, dalam hadits juga tertulis dalam waktu 100 tahun akan datang orang yang bisa memperbaharui pola pikir. Dan di 100 tahun yang ke 2 ini kita bisa memiliki Sukidi. Semoga dengan ini dapat terus mengembangkan tradisi tajdid di Indonesia”

Bahasan selanjutnya bergulir pada Sukidi, ia banyak bercerita soal bagaimana tesis dan pemikirannya. Menurutnya Al-Qur’an tanpa tradisi tidak memiliki arti. Karena tradisi sangat bermain penting didalamnya. Bahwa teks yang merujuk pada satu kajian dapat dijelaskan untuk menjelaskan makna. Karenanya memahami tradisi menjadi sangat perlu, diawali dari tradisi awal. Dimana mereka memiliki suatu privilese yang luar biasa. Karena mereka dekat dengan periode kenabian, yang artinya mereka memiliki pondasi yang kokoh, dapat menjadi rujukan otoritatif, hingga mereka cukup tahu momen-momen penting seperti pewahyuan.

Selanjutnya bahasan “tradisi” juga berkaitan dengan eksistensi komunitas penafsir. Suatu komunitas yang memproduksi makna dalam Qur’an. Bahwa makna tidak serta merta muncul dalam teks melainkan muncul karena ada tradisi interpretasi. Soal bagaimana suatu kelompok tersebut memiliki keberlanjutan atau kontinuitas dalam menjalankan tindakan untuk membaca, memahami, dan mengkaji teks-teks suci.

Interpretasi dalam pengkajian teks-teksi suci sangat perlu ditekankan. Pertama, karena teks yang ada penuh ambiguitas, sehingga sulit jika kita hanya kembali pada tulisan dalam Qur’an. Kedua, banyak teks yang terlepas dari konteks. Maka dari itu pemahaman yang ditinjau melalui asbabun nuzul harus benar-benar diperhatikan. Dan terakhir, bahwa banyak sekali kata asing yang tidak berasal dari bahasa arab. Dari sinilah dapat ditarik bahwa tanpa eksistensi komunitas penafsir maka Quran menjadi sulit dipahami. Sukidi sebagai cendekiawan muslim juga terus menggelorakan semangat penemuan tradisi. Ia terus berusaha merehabilitasi makna tradisi yang dianggap sebagai simbol kejumudan dan keterbelakangan.

“Saya berbeda dengan Ibnu Taimiyyah dalam hal “makna”. Makna menurut saya akan muncul ketika berinteraksi dengan para penafsir. Soal tesis lokus makna tidak berada pada teks tapi pada pikiran komunitas penafsiran” jelas Sukidi.

Menutup berita ini dapat disimpulkan kegiatan studium generale ini berjalan dengan baik. Kegiatan yang berlangsung hampir selama  3 jam ini sangat dinamis dan penuh antusias, dapat dilihat dari dinamika forum yang ada. Baik peserta maupun narasumber dapat membangun suasana yang menyenangkan meski harus berada dalam ruang maya. Semoga acara ini dapat bermanfaat dan PPI UMY terus bisa memberikan manfaat keilmuan pada umat. (swzl)